Aku tidak pulang
malam langit menangis
membisik nyanyi rintih rintik sunyi
dan harmoni desis bayu pada dedaun kayu
awanan ruang sesekali berpijar
dengan sinar hati halilintar
pentas minda sekali lagi berpinar
mabuk dalam ayunan dan alunan
getar suara opera hati menjerit
menjemput jemari yang menari
mengiring rentak hentak kaki
pada pasir dan desir pesisir
di daerah aku terpinggir
kurenung wajah langit menangis
di mana matamu tidak mengambang malam ini?
perlihatkanku mata berkacamu
agar bisa kucerminkan wajahku
masihkah terpancar wibawa
seorang wira dalam kembara
yang kononnya merantau mencari cahaya?
tadi baru aku adukan pada langit
dalam wajah wilis dan kirmizinya
jua pada santai kumulus senja
agar jangan kau anyam
corak-corak bunga layu itu
pada selendang rinduku
kerana warna hitam inilah pilihanku
telah kulunturkan merah darahku
lalu sengaja kutumpahkan
pada tanah sejarah, tempat ibuku diarwah
pada lurah disumpah, jiwa ayahku dilapah
pada celah-celah rekah, sukma dara berjiwa mentah
yang dicarik-carik, dicakar-cakar
puaka berhias wajah indah
gema silam itu memakuku pada teleku tak sudah
setelah degup jantungku mengusir kakiku sendiri
biar dikelar berbagai gelar
namun aku bukan daging ratah
walau bunga-bunga itu layu
walau kering dedaun kayu
namun hitam selendangku
sebati dengan warna darahku
sungai masa itu terlalu sayup pada hulunya
membuat aku terlupa arus manakah
yang menghilirkan jasadku ke muara ini
memang aku tidak lagi memekik jerit cengkerik hutan
cuma kumahu tahu angin masin di hadapan
menjanjikan samudera impian
bila camar mengibar gebar sisa usiaku
akanku bisa beradu di atas bayu
lalu, aku tidak pulang...
membisik nyanyi rintih rintik sunyi
dan harmoni desis bayu pada dedaun kayu
awanan ruang sesekali berpijar
dengan sinar hati halilintar
pentas minda sekali lagi berpinar
mabuk dalam ayunan dan alunan
getar suara opera hati menjerit
menjemput jemari yang menari
mengiring rentak hentak kaki
pada pasir dan desir pesisir
di daerah aku terpinggir
kurenung wajah langit menangis
di mana matamu tidak mengambang malam ini?
perlihatkanku mata berkacamu
agar bisa kucerminkan wajahku
masihkah terpancar wibawa
seorang wira dalam kembara
yang kononnya merantau mencari cahaya?
tadi baru aku adukan pada langit
dalam wajah wilis dan kirmizinya
jua pada santai kumulus senja
agar jangan kau anyam
corak-corak bunga layu itu
pada selendang rinduku
kerana warna hitam inilah pilihanku
telah kulunturkan merah darahku
lalu sengaja kutumpahkan
pada tanah sejarah, tempat ibuku diarwah
pada lurah disumpah, jiwa ayahku dilapah
pada celah-celah rekah, sukma dara berjiwa mentah
yang dicarik-carik, dicakar-cakar
puaka berhias wajah indah
gema silam itu memakuku pada teleku tak sudah
setelah degup jantungku mengusir kakiku sendiri
biar dikelar berbagai gelar
namun aku bukan daging ratah
walau bunga-bunga itu layu
walau kering dedaun kayu
namun hitam selendangku
sebati dengan warna darahku
sungai masa itu terlalu sayup pada hulunya
membuat aku terlupa arus manakah
yang menghilirkan jasadku ke muara ini
memang aku tidak lagi memekik jerit cengkerik hutan
cuma kumahu tahu angin masin di hadapan
menjanjikan samudera impian
bila camar mengibar gebar sisa usiaku
akanku bisa beradu di atas bayu
lalu, aku tidak pulang...